Friday, April 25, 2008

ADA APA DENGAN RASA MALAS?

"Hal terbesar di dunia ini
bukanlah dimana Anda berdiri,
melainkan kemana Anda akan pergi"

GOETHE


ADA APA DENGAN RASA MALAS ?

Sebuah pepatah lama, sengaja saya pilih untuk memulai tulisan ini. “Siapa cepat dia dapat.” Di mana pun, kapan pun, dan siapa pun pasti tahu bahwa persaingan makin ketat terjadi di segala sisi kehidupan kita. Iklim kompetisi menuntut kita selalu fight dan survive. Jika tidak, risiko yang mungkin menimpa kita adalah tersingkir dan menjadi pecundang.


Sebaiknya Anda simak percakapan berikut ini.


Maya, tolong selesaikan proposal training untuk bulan depan. Secepatnya, ya?” tutur Sang Bos kepada sekretarisnya.


Pak, bagaimana kalau besok saja, Pak? Masalahnya, proposal untuk bulan ini saja belum selesai.”

”Loh, bukankah seharusnya itu sudah selesai sejak minggu kemarin?” tanya Sang Bos.

Sekretarisnya cengengesan. ”Maaf, Pak?”

Karakter apa yang dapat Anda lihat dalam diri sekretaris Sang Bos? Seorang sekretaris yang malas, bukan? Siapa pun, langsung akan menempelkan image malas pada sekretaris itu. Padahal, boleh jadi sekretaris itu mengalami peristiwa mengenaskan, sehingga ia tidak bisa menyelesaikan tugasnya tepat pada waktunya. Akibatnya apa? Bosnya jadi kurang respek. Kenapa? Karena semua perusahaan pasti mengharapkan loyalitas dan profesi-onalitas karyawannya.

Hasilnya, bisa saja, akan berbeda seandainya sekretaris Sang Bos itu menjawab, ”Minggu kemarin ada keluarga saya kena musibah, pak. Tapi saya usahakan untuk menyelesaikan proposal itu secepatnya.”

Tentu saja, Sang Bos tidak akan menuding sekretarisnya itu pemalas, jika jawaban seperti itu yang dilontarkan oleh sekretarisnya. Jadi, intinya adalah Sang Bos itu anti pati terhadap sikap malas sekretarisnya. Bahkan, kita juga sering ’kurang respek’ terhadap orang pemalas.

Mengapa seseorang menjadi pemalas?

Bambang Santoso seorang karyawan Bank Indonesia Bandung, saat mengikuti Team Building Program pada 1-3 November 2003 di Bumi Perkemahan Ciwidey Bandung menyatakan, ”Malas itu dipicu oleh kebiasaan memandang remeh sesuatu, termasuk pekerjaan. Ada orang yang terlalu menggampangkan pekerjaan. Akibatnya, mereka menunda-nunda pekerjaannya. Pada hakikatnya, memandang remeh pekerjaan itulah yang menumbuhkan rasa malas.”

Lain lagi dengan Dewina Maharani P, karayawan PT LG EDI. Peserta Value Development Program ini berpendapat bahwa, ”Kebiasaan banyak makan dan tidur terlalu lama. Lapar sedikit makan, selesai makan menguap. Begitu perut keroncongan, maunya nyari warung aja. Sudah itu, ya ngantuk. Jadi, kebiasaan buruk itu harus dihindarkan. Jika tidak, Anda akan menjadi pemalas seumur hidup.”

Anda juga sebaiknya memerhatikan pendapat peserta Mentality Building Program pada 10-12 September 2002 di Cidahu Kabupaten Sukabumi. Mayasari L. Pesik, karyawan Jakarta Convention Center ini mengungkapkan, ”Orang malas karena terlalu memburu kesenangan hidup. Sebagian besar waktunya dimanfaatkan hanya untuk bersenang-senang. Ke sana kemari menghabiskan waktu. Nongkrong di mal betah sampai berjam-jam. Sepertinya tak memiliki beban hidup sama sekali.”

Nah, bagaimana dengan Anda? Saya yakin, Anda punya pendapat sendiri tentang malas. Enda, seorang blogger yang mem-posting pengakuannya bahwa dirinya seorang pemalas pada 11 Desember 2004, menyatakan bahwa, banyak hal yang bisa dilakukan di kantor dan tetap terlihat seperti sedang bekerja. Ada ruang pantry tempat yang pas berlama membuat kopi sambil ngobrol ngalor-ngidul bersama teman sekantor yang pemalas. Ada meeting berjam-jam di mana kita hanya perlu duduk manis. Serta berlama-lama di depan komputer, dikira sibuk download file buat referensi perusahaan, ternyata sedang sibuk meng-forward e-mail lucu.

Begitulah, sang pemalas bisa memuaskan ’jin’ malasnya di mana saja dan kapan saja. Meski, menurut Enda, pemalas tidak selamanya merugikan. Bahkan, orang bisa memikirkan membuat mobil karena malas naik sepeda apalagi jalan kaki. Microsoft Excel dibuat untuk membahagiakan orang-orang yang malas berhitung dan menggunakan sempoa. Tapi, yang jelas, salah satu kehebatan pemalas adalah jago membuang-buang waktu.

Sekarang, cobalah sejenak tafakkur. Bertanya pada hati nurani. Benarkah Anda ingin sukses? Masihkah Anda berniat untuk hidup bahagia. Bahagia yang tidak hanya di dunia, tapi sekaligus di akhirat kelak? Mungkin pertanyaan ini terkesan klise. Tapi, ini bukan basa-basi. Setiap orang pasti ingin sukses. Tidak peduli apa pun latar belakang pendidikan, ekonomi, maupun status sosial kita, pasti kita semua berharap untuk sukses.

Namun, sebelum kita melompat lebih jauh, sebaiknya kita ’gunting’ dulu kebiasaan malas dalam diri kita. Dipangkas serapi mungkin. Kalau bisa, cukur habis. Caranya? Gampang, kok. Ini dia jurus dahsyat untuk ’menghabisi’ rasa malas dalam diri kita.

(1) Jika pintu masuk yang digunakan virus malas ke dalam tubuh kita adalah suka memandang remeh sesuatu sebagaiman pendapat Bambang Santoso, maka gunakanlah jurus pertama: jangan suka memandang remeh sesuatu. Boleh saja Anda merasa ahli terhadap satu persoalan, tapi Anda naif jika memandang remeh sesuatu itu. Apapun pekerjaan Anda, betapapun Anda merasa pekerjaan itu enteng, Anda harus tetap fokus. Jangan sampai waktu Anda yang tersita selama satu minggu, hanya untuk menangani satu peker-jaan yang bisa Anda selesaikan dalam satu hari.

(2) Jika pintu masuk yang digunakan virus malas ke dalam tubuh kita adalah banyak makan dan tidur terlalu lama, seperti penuturan Dewina Maharani, maka gunakanlah jurus kedua: kurangi makan dan tidur. Makan dan tidurlah secara proporsional. Sesuai kebutuhan. Jika tidak, selain Anda bakal menghadapi ancaman penyakit malas, Anda juga bisa terjangkit obesitas. Jadi, bergeraklah! Jangan berpangku tangan. Apalagi memanjangkan angan-angan. Kita hanya punya waktu 24 jam, amat sayang jika kita lewati dengan sesuatu yang sia-sia. Andrew Ho, seorang motivator dan pengusaha sukses berpesan kepada kita, ”Sukses adalah pilihan hidup, dan pilihan itu ada di tangan Anda.” So, tunggu apa lagi?

(3) Jika pintu masuk yang digunakan virus malas ke dalam tubuh kita adalah terlalu memburu kesenangan duniawi, seperti yang ditunjukkan oleh Mayasari L. Pesik, sebaiknya Anda gunakan jurus ketiga: hidup ini terlalu berharga untuk disia-siakan. Ya, setiap kita hanya mendapat satu ke-sempatan untuk hidup. Jadi, mengapa harus disia-siakan? Suatu ketika, Charles de Montesquieu mengingatkan kita, ”Kebahagiaan yang sesungguhnya menjadikan seseorang peka dan baik hati. Dan kepekaan itu sangat berharga dan bermakna tidak hanya untuk dirinya sendiri.

Begitulah, tak ada celah bagi seorang pemalas untuk bisa meraih kesuksesan, pun kebahagiaan. Selama Anda masih berniat untuk hidup sukses dan bahagia, segera berbenah. Enyahkan rasa malas. Lawan. Jangan mau kalah, apalagi takluk di hadapan pendekar bernama kemalasan. Kalau perlu, kembangkan jurus-jurus baru yang ampuh dan sesuai dengan karakter Anda.

Anda punya hak untuk sukses dan bahagia. Karena itu, Anda wajib membunuh rasa malas. Anda akan merasakan dahsyatnya hidup tanpa kebiasaan malas. Luar biasa.

kotamacet, 25/04/2008

Wednesday, April 23, 2008

BAGAIMANA MENJADI BAHAGIA

Semua orang tahu, hidup ini butuh keberanian. Anda, dan juga saya, sangat menyadari pentingnya nyali dalam hidup. Apalagi, saat kita berniat hijrah. Bermaksud melakukan perubahan besar. Tentu saja Anda perlu, dalam istilah Bambang Trim, ayo meng-install nyali. Jika tidak, Anda akan tetap seperti apa adanya.

Anda ingin bahagia? Tentu. Jika tidak, untuk apa Anda membaca tulisan ini? Sebenarnya, Anda akan menemukan jurus-jurus dahsyat menjadi lebih bahagia pada bagian ketiga tulisan saya ini. Tapi, tak apalah. Ada baiknya Anda mendapat bocoran, itung-itung bonus.

Nah, sebagai jurus pembuka, simak dan camkan baik-baik beberapa langkah berikut ini.

Pertama, belajar bersyukur. Bersyukur memang sikap yang kelihatannya sangat mudah, akan tetapi pada kenyataannya sangat sulit untuk dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Bersyukur bukan berarti pasrah dengan apa yang diterima oleh kita begitu saja, akan tetapi bersyukur adalah menerima dengan ikhlas dan tanpa mengeluh apapun yang telah diberikan Tuhan kepada kita.

Kedua, tidak terlalu banyak berharap. Apa yang sudah Anda dapatkan sekarang, itulah milik Anda. Jika pun Anda ingin lebih, telisik seberapa kemungkinan Anda bisa meraihnya. Jangan sampai Anda memaksakan diri. Itu hanya akan mengantar Anda menuju gerbang stress dan depresi, apalagi jika Anda tidak berhasil meraihnya.

Ketiga, belajar hidup sederhana. Jika kita bisa naik motor ke kantor, mengapa harus memaksa diri membeli mobil? Apalagi jika kita termasuk dalam golongan orang-orang yang tidak sabaran menghadapi kemacetan. Dan, lebih gila lagi, jika untuk mendapatkan mobil itu harus lewat jalan pintas yang mengerikan: korupsi. Na’udzu billahi mindzalik. Jangan sampai hal seperti itu kita lakukan, hanya untuk memuaskan nafsu ingin dipuji dan dihargai orang lain.

Keempat, jangan memelihara rasa minder. Kita harus selalu percaya diri. Pede dalam istilah trend anak muda jaman sekarang. Hanya karena Anda naik angkot ke kantor, mengapa harus minder? Hanya karena Anda tak sanggup membeli tiket pesawat ke Surabaya, mengapa harus malu naik kereta api? Kata Slank, hidup ini sudah rumit, jangan dibuat semakin rumit.

Kelima, belajarlah melihat ke bawah. Anda belum puas dengan apa yang Anda miliki sekarang? Lihat, banyak orang yang lebih kurang beruntung dibanding kita. Masih mending kita bisa makan dengan kenyang, di samping kita banyak yang perutnya kembang-kempis menahan rasa lapar. Untung kita masih bisa jalan kaki, di sekitar kita banyak yang tak sanggup mengayun langkah karena penyakit yang dideritanya. Jadi, mengapa harus memelihara rasa derita?

Semoga kita termasuk orang-orang yang sibuk melatih diri menjalani hidup dengan lapang dada, agar kita tidak memaksa diri untuk menumpukkan harta dengan cara yang tidak ’semestinya’.

kotamacet, 18/04/08
khrisna pabichara

Monday, April 21, 2008

10 JURUS AMPUH MENJADI PEMIMPIN

10 Jurus Ampuh Menjadi Pemimpin
By: Khrisna Pabichara


Orang pertama yang Anda pimpin adalah diri sendiri
Hasan Al-Banna



Hanya ada dua pilihan dalam hidup ini: memimpin atau dipimpin. Menjadi bawahan atau atasan. Jika Anda memilih untuk jadi pemimpin, berarti Anda ingin diikuti. Sebaliknya, ketika Anda secara sadar memilih menjadi bawahan, maka Anda secara otomatis akan menjadi pengikut. Jadi, bagaimana? Tentukan pilihan Anda sekarang juga. Karena, jika Anda enggan jadi pemimpin, orang lain yang akan maju. Jika Anda enggan ke depan, orang lain yang akan memimpin. Karena itu, segeralah jadi kepala. Jika tidak, Anda akan menjadi ekor seumur hidup.



Masalahnya,"menjadi pemimpin itu tidak mudah," pikir sebagian orang. Atau, "memimpin diri sendiri saja susah, apalagi memimpin orang lain," keluh sebagian orang lainnya. Bagaimana dengan Anda? Apakah Anda juga berpikir demikian? Jika tidak, selamat! Anda layak untuk maju. Jika jawaban Anda ya, sebaiknya Anda bergegas untuk membenahi diri. Pilihan menjadi bawahan seumur hidup, bukanlah alternatif terbaik bagi Anda.



Lantas, bagaimana menjadi pemimpin yang baik? Ayo, mari kita saling berbagi. Anda boleh mencoba 10 jurus ampuh menjadi pemimpin. Boleh jadi, Anda tidak cocok dengan jurus-jurus yang saya tawarkan. Coba saja! Toh, jika Anda gagal, setidaknya Anda sudah mencoba. Teddy Rosevelt pernah menyatakan, "Ia yang tidak membuat kekeliruan, tidak akan membuat kemajuan."



So, coba saja! Jangan takut salah. Jangan takut jadi pemimpin. Tidak perlu sibuk bertanya kiri-kanan, "Apakah saya punya bakat jadi pemimpin?" Ingat, tidak ada satupun orang yang terlahir sebagai pemimpin.



Nah, ini dia 10 jurus ampuh menjadi pemimpin.



1. Berani belajar. Menjadi seorang pemimpin, berarti memilih secara sadar untuk terus belajar. John Wooden, seorang pelatih basket ternama, berpesan kepada kita, "Yang penting adalah apa yang Anda pelajari setelah mengetahui semuanya." Bagaimana jika seseorang telah meraih posisi puncak di perusahaannya, masihkah harus tetap belajar? Jawabannya singkat: ya. Boleh jadi, Anda masih perlu belajar tentang bagaimana meningkatkan pendapatan Anda. Atau tentang bagaimana memimpin bawahan yang gemar menantang atasan. Jadi, meskipun Anda telah mencapai posisi yang diinginkan, sekalipun Anda telah mendapatkan kedudukan yang didambakan, Anda harus tetap belajar. Termasuk belajar dari bawahan Anda, atau belajar dari orang-orang yang Anda pimpin.



2. Belajar berinisiatif. Tanpa inisiatif, Anda takkan berkembang. Takkan kemana-mana. Takkan mencapai puncak. Boleh jadi Anda sudah mapan, sudah nyaman pada posisi yang Anda duduki saat ini, tapi jika Anda terus-terusan berpuas diri, Anda bisa digusur orang lain. Jadi, teruslah mengasah inisiatif Anda.



3. Belajar disiplin. Telisik diri Anda. Apakah Anda selalu datang ke kantor tepat waktu? Apakah Anda termasuk tipe orang yang menghargai waktu? Apakah Anda sering menepati janji? Ya, disiplin adalah kunci sukses menjadi pemimpin. Ingat, orang pertama yang Anda pimpin adalah diri sendiri. Jika Anda gagal memimpinnya, bagaimana mungkin Anda memimpin orang lain?



4. Belajar membangun kompetensi. Orang yang memiliki kompetensi yang tinggi, akan melangkah lebih jauh. Untuk menjadi seorang pemimpin, anda harus memiliki jurus ini: Kompetensi. Jika Anda bisa membangunnya, Anda akan mendapatkannya. Untuk memilikinya, Anda harus terus belajar, terus tumbuh dan terus memperbaiki diri. Willa A. Fester mencerahkan kita dengan pesannya, "Kualitas tidaklah pernah merupakan suatu kebetulan. Kualitas merupakan hasil dari tekad yang bulat, upaya yang tulus, dan kerja keras."



5. Belajar berkomunikasi. Anda tidak mungkin mengungkapkan kebutuhan perusahaan, jika Anda tidak bisa mengkomunikasikannya. Anda tidak mungkin menyuruh, jika Anda susah menyuarakannya. Anda tidak mungkin meminta, jika Anda tidak sanggup menyuarakannya. Demikianlah, Anda butuh komunikasi. Karena Anda tidak bisa menjalankan perusahaan yang Anda pimpin, menggerakkan orang-orang yang Anda pimpin, jika Anda tidak terampil berkomunikasi.



6. Belajar membangun integritas. Saya yakin, Anda memiliki integritas diri sebagai karakter, kepribadian, dan gaya hidup Anda. Kejujuran, keteguhan hati, ketulusan, dan keramah-tamahan adalah integritas Anda. Karenanya, Anda pantas menjadi pemimpin. Anda layak menjadi panutan. Karena pemimpin yang baik adalah sekaligus bisa menjadi teladan.



7. Belajar membangun hubungan yang harmoni. Menjadi pemimpin tidak berarti menguasai. Malah, bisa jadi, berarti melayani. Menjadi pemimpin tidak selalu memaki-maki. Malah, kalau perlu, memberikan motivasi dan menyuntikkan semangat. Meminjam istilah Mawell, "Orang tidak peduli seberapa banyak yang Anda ketahui, hingga mereka tahu seberapa jauh Anda peduli". Atau, mungkin Anda perlu menyimak fatwa Ma'ruf Mushthofa Zurayq, "Kita sering dipisahkan oleh batasan, karena kita lebih rajin membangun dinding, bukan jembatan."



8. Belajar mendengarkan. Suatu ketika, Woodrow Wilson, mantan Presiden Amerika Serikat, menyatakan bahwa, "Telinga seorang pemimpin harus mampu menangkap suara orang banyak". Jika Anda berniat menjadi pemimpin yang baik, maka jadilah pendengar yang baik. Buka telinga Anda. Simak baik-baik. Jika Anda mendengarkan bisikan-bisikan karyawan Anda, maka Anda tidak akan mendengarkan teriakan-teriakan mereka.



9. Belajar bertanggung jawab. John C. Maxwell, pada satu kesempatan menuturkan, "Seorang pemimpin dapat melupakan apapun, kecuali tanggung jawab akhir." Ya, seorang pemimpin adalah penanggung jawab. Ketika anak buahnya melakukan kesalahan, bahkan yang berakibat fatal, ia tidak akan menumpahkan semua kesalahan kepada karyawannya itu. Alih-alih mencari kambing hitam, pemimpin yang baik malah sibuk introspeksi: Mengapa karyawan saya melakukan banyak kesalahan? Pemimpin yang bijak adalah biasa merangkul. Bukan menyudutkan!



10. Belajar menyelesaikan masalah. Masalah bukan untuk dihindari, melainkan untuk diselesaikan. Ukuran sukses Anda ditentukan oleh seberapa hebat Anda menuntaskan persoalan yang menimpa. Takaran kehebatan Anda memimpin ditentukan oleh seberapa dahsyat Anda menyelesaikan masalah yang Anda hadapi.



Nah, jika Anda telah menguasai jurus-jurus di atas, tunggu apalagi? Saatnya Anda beraksi. Anda bisa. Do it now.




Tinggalkan komentar Anda, setelah Anda membaca tulisan ini. Setidaknya sebagai bekal untuk lebih mengasah ketajaman hati.

Monday, April 14, 2008

MARI BERPIKIR, BO!

DIDALAM AL-QUR’AN, pada beberapa ayat, terdapat ungkapan seperti, “Terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal,” atau, “Tidakkah kamu perhatikan?”. Ungkapan seperti itu menekankan pentingnya berpikir. Dalam konsep komunikator cerdas, kebiasaan berpikir merupakan langkah awal menjadi komunikator yang unggul.

Konsep 3S

Setiap perbuatan kita, semestinya, adalah saripati renungan. Dan, komunikasi yang kita jalin adalah hasil endapan tafakkur. Anda pasti tahu bagaimana rasanya diperlakukan tidak adil. Anda pasti tahu betapa tidak enaknya menjadi korban kedzaliman. Dan, tentu saja, Anda tidak ingin mengalaminya, kan?

Jika, dalam berinteraksi, Anda tidak ingin dilukai, begitu pula halnya dengan orang lain. Karena itu, berpikir dulu sebelum bertindak. Ada konsep 3S yang sebaiknya Anda lakukan jika hendak melakukan sesuatu, yaitu:

1) sebelum melakukan sesuatu, berpikir dulu. Apakah apa yang akan Anda katakan, ungkapkan, atau sampaikan, baik secara lisan maupun tulisan, bahkan dengan bahasa isyarat sekalipun, pertimbangkanlah manfaatnya. Jika tidak berfaedah, untuk apa membuang-buang energi dengan sesuatu yang sia-sia? Pada salah satu firman-Nya, Allah menjelaskan bahwa orang beriman yang beruntung adalah, “Orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna”. (QS. al-Mu’minun [23] : 3)

2) Selama melakukan sesuatu, berpikir lagi. Apakah cara melaku-kannya benar menurut syariat atau malah melanggar syariat. Banyak perbuatan yang kita lakukan, benar menurut anggapan kita, tetapi salah menurut ketentuan agama. Misalnya, menyambung tali silaturrahmi melalui kunjungan ke tetangga-tetangga. Namun, jika yang Anda lakukan selama berkunjung adalah bergunjing, berarti Anda melanggar kaidah-kaidah agama.

3) Setelah melakukan sesuatu, berpikir lagi. Pikirkan kembali, apakah yang telah kita lakukan itu adalah sesuatu yang benar-benar bermanfaat, atau hanya perbuatan sia-sia belaka? Bagaimana cara kita melakukan sesuatu itu? Apakah sesuai dengan kaidah-kaidah agama? Apakah tidak melukai, menyakiti, dan menyinggung perasaan orang lain?

Sekolah Tinggi Akhlak Mulia

SEBAGIAN BESAR dari kita berkembang sejak kanak-kanak karena pengaruh orang tua, sanak saudara, teman bermain, dan lingkungan sekitar kita. Kita tumbuh dan berkembang sesuai apa yang diajarkan oleh kehidupan, masyarakat, budaya, dan keluarga. Kita menjalani kehidupan yang banyak memengaruhi pikiran kita.

Mereka –saya menyebutnya: Sekolah Tinggi Akhlak Mulia- menjadikan siapa dan bagaimana perilaku kita sebenarnya. Jika kita tumbuh di tengah keluarga carut-marut, maka akhlak alumninya pun pasti akan amburadul. Jika kita tumbuh di tengah keluarga ‘copet’, maka kita akan menganggap ‘halal’ merokoh isi saku orang lain tanpa permisi. Jika tumbuh di tengah keluarga ahli ibadah, maka kita akan terpola beribadah dengan rutin dan disiplin.

Pembentukan Karakter

Mereka –Sekolah Tinggi Akhlak Mulia- itu membentuk bagaimana cara kita memperlakukan orang lain. Mereka memengaruhi apa yang kita katakan dan bagaimana mengatakannya. Mereka juga memengaruhi apa yang kita lakukan dan bagaimana melakukannya. Maka, seorang anak yang tumbuh di tengah kalangan keluarga pemikir, akan terbiasa berpikir sebelum, selama, dan setelah berkomunikasi, sehingga hasil komunikasinya bermanfaat bagi dirinya dan bagi orang di sekitarnya.

Rasulullah Saw. bersabda,
"Tiap bayi dilahirkan dalam keadaan suci (Islam). Ayah dan ibunyalah kelak yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi (penyembah api berhala." (H.R. Bukhari)

Ketika Akhlak Lingkungan Bermasalah

BAGAIMANA JIKA KITA lahir dan tumbuh di tengah lingkungan sesat? Jangan panik! Berdoalah, semoga Allah menolong kita untuk menyadari semua kekeliruan hidup serta memberikan hidayah untuk keluar dari kesesatan itu. Sekali lagi: jangan panik! Ingatkah Anda bagaimana Nabi Ibrahim as. mencari Tuhan, disaat orang lain khusyu’ menyembah berhala? Ingatkah Anda bagaimana gigihnya Nabi Musa as. dan Nabi Harun as. ‘menawarkan’ kebe-naran, ketika rakyat Mesir ngotot menganggap Fir’aun sebagai Tuhannya?
Jika jawaban Anda ‘ya’, maka Anda tidak membutuhkan banyak fasilitas. Anda hanya butuh satu wadah: kesungguhan (mujahadah). Selalu ada jalan, jika kita mau berusaha.
Lantas, apa yang sebenarnya yang paling menentukan keberhasilan kita menjadi komunikator yang ulung? Apakah lingkungan tempat kita lahir dan tumbuh berkembang? Pergaulan? Keberuntungan? Atau, malah diri kita sendiri? Mungkin saja lingkungan dan pergaulan memengaruhi kepribadian kita, tetapi yang paling menentukan adalah keyakinan. Dan, keyakinan melahirkan pikiran.

Berpikirlah untuk Menghormati Orang Lain

SEBAGIAN ORANG meraih popularitas dan kesuksesan duniawi dengan ‘menyabot’ peluang orang lain. Ada juga yang menjilat atasan dan menekan bawahan. Bahkan ada yang menyuap kiri-kanan, menipu sana-sini, dan cara-cara lain yang tidak bermoral. Sebagian yang lain, meskipun sedikit, mendapatkannya dengan santun, tanpa melanggar syar’i. Mereka saling bekerja sama, saling membantu, sharing pengalaman, dan berbagi gagasan. Mereka berhasil meraih tujuan hidupnya, tanpa harus menyakiti orang lain.

Ada 2 (dua) macam karakteristik komunikasi manusia. Karakter pertama, hanya mengejar habluminallah dan melalaikan habluminannas. Golongan ini taat beribadah. Hanya saja, mereka mengabaikan mu‘amalah. Sebenarnya, mereka pun mengetahui bahwa cara yang mereka tempuh menyimpang dari ajaran agama. Bahkan, banyak yang sering meminta kepada Allah –setidaknya tujuh belas kali sebanyak bilangan rakaat shalat- agar ditunjuki jalan yang lurus.
Namun, ketika berada di dunia nyata, mereka berpikir bahwa ‘kejujuran’ tidak akan menghasilkan kesuksesan.

Golongan ini lupa pada peringatan Allah,
"Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?"
(Q.S. al-Qiyamah [75] : 36)

Karakter kedua, selain menguatkan habluminallah juga memperbaiki habluminannas. Mereka membangun harga diri orang lain dengan memberikan pujian yang wajar dan tulus. Bukan pujian yang dipenuhi rasa pamrih. Mereka menawarkan saran-saran perbaikan, bukan kritik pedas yang menyakitkan. Mereka membesarkan semangat orang lain, bukan melemahkannya.

Golongan ini menyadari bahwa,
"Dan segala urusan yang kecil maupun yang besar adalah tertulis." (Q.S. al-Qamar [54] : 52)

Bercerminlah pada Lebah

PERNAHAH ANDA memerhatikan bagaimana Allah menciptakan lebah? Allah menegaskan di dalam Al-Qur’an,
"Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah, ‘Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat yang dibikin manusia.’ Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan yang dimudahkan bagimu. Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya, pada yang demikian itu benar-benar tanda (kebenaran) Tuhan bagi orang-orang yang memikirkan." (QS. an-Nahl (16) : 68-69 )

Sesekali kita ‘semestinya’ merenungi penciptaan lebah. Mengapa lebah tak pernah merusak tempat yang dipilihnya untuk membikin sarang? Mengapa lebah hanya makan dari sumber yang baik saja? Mengapa lebah mengha-silkan berbagai cairan dan kotoran yang sangat bermanfaat? Sesungguhnya pada penciptaan lebah, kita dapat memetik pela-jaran berharga, jika kita mau memikirkannya.

Pelajaran apa yang bisa kita petik dari penciptaan lebah?

1. Tidak merugikan orang lain. Dimana pun, kapan pun, dan melakukan apapun, kita tidak menyusahkan apalagi merugikan orang lain. Seperti lebah, kehadiran kita harus selalu memberi maslahat bagi orang-orang di sekitar kita.

2. Mencari nafkah dari sumber yang halal dan thoyib. Seperti lebah hanya mau menghisap saripati bunga, semestinya kita ‘malu’, jika sebagai manusia yang melebihi kelebihan akal dibandingkan lebah, jika kita menafkahi keluarga dari sumber yang tidak di ridhai Allah.

3. Perkataan dan perilaku kita senantiasa bermanfaat. Seperti lebah, semestinya kita hindari perkataan dan perbuatan yang sia-sia.

Sungguh, jika kita bisa bercermin pada penciptaan lebah, jangan kaget jika orang-orang di sekitar kita akan selalu merindukan kehadiran kita, dan berlomba-lomba membenahi akhlak, insya Allah, Indonesia tercinta ini akan terbebas dari pelbagai kerusuhan. ☼☼☼

HARMONI SEBUAH KOMUNIKASI

Tak ada orang yang akan banyak bicara di masyarakat,

jika mereka tahu seberapa sering mereka salah memahami orang lain.
GOETHE, filsuf




DAENG NGADELE, ayahanda (almarhum) yang semoga Allah Yang Zat-Nya Tak Tertandingi merahmatinya senantiasa, bukanlah guru besar di universitas ternama. Beliau bahkan hanya sempat sebulan duduk di bangku Sekolah Dasar (dulu SR), yang ruang belajarnya di kolong rumah kakek buyutku, Makkarawa. Meski demikian, bagi saya, ayah adalah guru spiritual yang sangat saya kagumi, setelah Rasulullah saw. Beliaulah yang memperkenalkan kepada saya makna demokrasi, jauh sebelum saya belajar Pendidikan Moral Pancasila (PMP) di bangku sekolah. Beliau (pula) yang setia menemani saya menumbuhkan dan mengembangkan kecerdasan spiritual, jauh sebelum konsep kecerdasan spiritual ramai diperbincangkan.

Harmoni sebuah keluarga.

Di tengah nuansa adat Turatea yang masih dianut ketat oleh masyarakat Kabupaten Jeneponto Sulawesi Selatan, keluarga kami hidup penuh romansa. Kami dibesarkan penuh kasih sayang dalam suasana persahabatan, tanpa dikotomi orang tua-anak, kakak-adik, atau tua-muda. Kami selalu saling menghargai, sebagaimana kami senantiasa saling menyayangi. Kenangan itu menjadi benang layangan, yang bisa direntang-digulung sekehendak hati.

Apa rahasia di balik keharmonisan keluarga kami? Tidak ada. Adakah sesuatu yang luar biasa? Tidak juga. Semuanya biasa-biasa saja. Rahasianya tidak banyak, hanya satu, yakni komunikasi. Sebagai illustrasi, dalam menentukan menu makanan pun selalu dibahas setiap pagi di keluarga kami, dengan mendiskusikan jenis makanan yang diinginkan dan disesuaikan dengan kondisi keuangan yang ada. Artinya, kebahagiaan itu tercipta dari hubungan komunikasi timbal balik atau komuni-kasi dua arah, yang menyenangkan dan saling menguntungkan.

Lalu, bagaimana dengan Anda? Pasti Anda juga memiliki pengalaman berkomunikasi di ke-luarga Anda.

Harmoni sebuah komunikasi

Mungkin Anda sepakat bahwa hubungan kita dengan orang lain akan harmonis apabila komunikasi itu terjalin sesuai dengan harapan semua pihak, dan akan memburuk jika ada pihak yang merasa dirugikan. Bagaimana dengan cara Anda berkomunikasi selama ini? Apakah Anda ser ing menggunakan pola komunikasi timbal balik atau komunikasi dua arah, atau Anda sering menjalin komunikasi yang satu pihak lebih dominan dari pihak yang lain.

Sementara, merujuk pada pendapat filsuf Thomas Hobbes, setiap orang pada pihaknya sendiri menamakan segala sesuatu yang menyenangkan dan menggembirakan baginya sebagai sesuatu yang baik. Sementara, lanjut Hobbes, yang buruk adalah yang tidak menyenangkan dan tidak menggembirakan baginya. Padahal, jika kita telaah, sejauh setiap orang memelihara persepsi yang berbeda, dan bersikukuh pada ‘kebenaran’ pandangannya sendiri, mereka juga pasti akan berbeda dalam menetapkan pemahaman umum antara yang baik dan yang buruk.

Disharmoni dalam komunikasi

Demikian pula halnya dalam berkomunikasi. Banyak orang yang cenderung respek dan hormat kepada orang yang bertutur dengan santun dan berlaku sopan kepada mereka, dan tidak suka atau membenci orang yang kurang sopan, kurang santun, kurang etis, dan kurang-kurang yang lainnya. Pemahaman seperti ini, sebenarnya, tidaklah layak dipertahankan. Apalagi jika kita, secara serius, mau meneladani akhlak Rasulullah, yang tetap santun baik kepada musuh apalagi kepada sahabatnya.

Lihat saja, di sekitar kita, kerapkali kita temukan stiker yang bertuliskan, “Anda sopan kami hargai!” Lantas, bagaimana jika mitra komunikasi kita kurang atau bahkan tidak sopan?
Apakah kita lebih memilih tidak menghargai ketimbang meng-hargainya? Boleh jadi, karena kita sopan, mereka malah menjadi lebih sopan?

Harmoni dalam risalah

Itulah mengapa sehingga menurunkan Nabi dan Rasul sebagai pembawa risalah yang memberikan batasan jelas antara benar dan salah. Dan, hebatnya lagi, Nabi-nabi dan Rasul-rasul menyebarkan agama dengan komunikasi sebagai kendaraannya.

Herannya, banyak orang yang tidak menyadarinya!

Di antara kita, ada yang menyadarinya, tapi tidak memiliki rasa peduli. Mereka berbuat seolah-olah apa yang benar buat mereka berarti benar pula buat orang lain. Padahal, belum tentu, kan? Semestinya, kita semua menyadari bahwa kita memiliki potensi yang sangat besar untuk berbeda keyakinan, nilai-nilai, dan pikiran. Dan perekat dari perbedaan itu adalah agama.

Harmoni dalam pilihan

Tentu saja, dibutuhkan ‘kuasa komunikasi’ yang efektif untuk menjadikan agama sebagai perekat perbedaan. Tapi, jangan khawatir. Kita semua mampu melakukannya. Kita semua bisa menjadi seorang komunikator yang ulung. Termasuk Anda.

Komunikasi itu dipenuhi pilihan. Begitupun dampaknya. Cara Anda berkomunikasi akan memberikan dampak ‘besar’ atau ‘kecil’ bagi orang-orang di sekitar Anda. Anda akan menyenangkan sebagian orang, tetapi juga akan melukai sebagian lainnya. Anda tidak perlu selalu memenuhi hasrat orang lain dengan menyenangkannya. Apalagi jika itu mengorbankan Anda dan kerabat dekat Anda. Pun, sangatlah tidak manusiawi jika Anda terus-terusan melukai orang lain.

Itulah sebabnya mengapa kita perlu mengetahu fiqh prioritas, meminjam bahasa Qardhawi, berada di antara dua.

Harmoni dalam kekuatan diri

RENUNGKANLAH, ada kekuatan dalam diri Anda serupa tiga permintaan bagi Aladin kepada jin penunggu lampu ajaibnya, yang dapat membimbing Anda untuk melakukan cara berkomunikasi yang seharusnya. Kuncinya, yang penting Anda dapat memanggil kekuatan itu dengan cara yang benar. Anda punya hak untuk menggunakan anugerah tiga permintaan itu. Yakni, kemauan gigi untuk berlatih, kemauan keras menjaga komitmen, dan ikhlas menerima hasil akhir. Anda bisa memanggil ketiga kekuatan itu, sebagaimana Aladin melakukannya.

Dan, Anda tidak perlu khawatir lagi, dihantui kecemasan, dan terus menerus dibayang-bayangi kegagalan.

Harmoni sebuah teori

Mungkin Anda mengatakan, “Teori itu gampang, prakteknya yang susah,” atau, “Lebih mengucapkan daripada melaksanakan, bo!”

Bagaimanapun, kita tetap membutuhkan teori sebagai acuan dalam menjalin komunikasi. Yang penting kita berani mencoba, mencoba, dan mencoba lagi. Hanya ada tiga rahasianya. Pertama, cobalah. Kedua, coba lagi. Ketiga, coba lagi deh! Ketika Anda mencoba berkali-kali, hasilnya tetap saja kurang memenuhi harapan, maka gunakan cara yang lain. Jangan kaku. Fleksibel.
Lenturlah menghadapi kondisi.

Harmoni sebuah perubahan

INGATLAH, semua orang akan lebih berani menghadapi sesuatu, jika ia telah lama mempersiapkan diri. Seperti pernah diungkapkan oleh Lucius Annaeus Seneca, seorang filsuf, bahwa semua orang mampu bertahan dalam kondisi yang sulit jika mereka sebelumnya banyak berlatih. Artinya, kita harus meneguhkan keyakinan, bahwa tak ada sesuatu pun yang mampu mengejutkan, mempermainkan, atau menekan kita.

Jika Anda merasa sudah cukup lama Anda ingin menyampaikan semua gagasan dengan cara yang meyakinkan, saya kira, sasaran itu merupakan sesuatu yang realistis. Mungkin juga, sebenarnya, Anda sudah lama ingin melakukannya. Atau, bahkan Anda sudah lama berusaha keras dengan mencoba banyak cara, namun hasilnya belum juga menggembirakan. Lebih tepatnya, masih mengecewakan. Jangan pesimis.

Bagaimanapun juga, Anda tidak sendirian. Banyak yang mengalami kejadian serupa. Bukan hanya orang awam, tidak sedikit yang sudah menduduki jabatan tinggi, kaum profesional, jajaran eksekutif perusahaan, pejabat teras pemerintahan, bahkan kalangan pendidik sekalipun.

Yang penting, Anda mau berusaha! ☼☼☼

Sunday, April 13, 2008

SEMUA BERAWAL DARI KOMUNIKASI

Selalu ada yang berbeda,
ketika kita berbicara dari sudut pandang yang berbeda.
BRIAN TRACY, penulis ternama


PADA MARET 2008, bersama D’SMART Community, sebulan penuh saya disibukkan oleh kegiatan SmartCamp(SC). Masalah utama yang paling banyak dikeluhkan peserta adalah kemampuan mereka dalam berkomunikasi. Padahal, mereka termasuk orang-orang yang setiap hari melakoni aktivitasnya dengan bercas-cis-cus. Tetap saja, dalam sesi ‘Kekurangan Saya’, kemampuan berkomunikasi nangkring di urutan pertama.

Komunikasi di mana-mana

Percayakah Anda bahwa hampir seluruh waktu kita dalam sehari-hari dihabiskan untuk berkomunikasi? Di rumah, di jalan, di kantor, di sekolah, di kampus, di terminal, di pasar, dan di mana saja, semua orang menggunakan komunikasi sebagai alat untuk berhu-bungan dengan orang lain.

Tidak peduli siapa pun dan apa pun profesi Anda, Anda pasti butuh berkomunikasi.
Di rumah, komunikasi kita lakukan untuk berhubungan dengan suami atau isteri, anak-anak, orang tua, kerabat, dan tetangga. Kita menyampaikan perasaan kita, keinginan kita, kekecewaan kita, atau apa saja yang ada dalam benak kita melalui komunikasi.

Di sekolah, melalui komunikasi, kita berinteraksi dengan kepala sekolah, guru-guru, teman-teman, pegawai, security, bahkan dengan ‘penunggu’ kantin. Demikian juga di tempat kerja kita berkomunikasi dengan sesama rekan kerja, atasan atau bawahan, pelanggan, bahkan dengan orang ‘asing’ yang mungkin baru bertemu dengan kita pada hari itu.

Kita dan ‘kuasa komunikasi’

Masalahnya, apakah Anda menyadari kuasa komunikasi dalam mem-bantu ‘sukses’ atau ‘gagalnya’ semua aktivitas Anda? Dan seberapa hebat Anda melejitkan ‘kuasa komunikasi’ itu?
Apakah Sering, Kadang-kadang, Hampir Tidak Pernah, atau malah Tidak Pernah sama sekali.
Ayo, mari kita mengkaji diri sendiri!

Mungkin beberapa ungkapan mitra belajar saya berikut ini, serupa dengan kejadian yang Anda alami.

"Saya sadar bahwa saya ini punya potensi untuk tampil di depan umum. Karena itu, saya sengaja melatih kemampuan verbal saya secara rutin, baik di kampus maupun di tengah masyarakat. Sebelum saya tampil pun selalu menyiapkan materi dan latihan secukupnya. Anehnya, setiap kali mulai ‘berdiri’ di depan orang banyak, ketika saya mulai merasa bahwa semua mata tertuju ‘hanya’ kepada saya, selalu menelusup rasa ‘kurang’ nyaman. Sepertinya ada sesuatu yang ‘mengganjal’, tapi saya sendiri tidak mengetahuinya. Dan, ketika saat-saat seperti itu tiba, saya selalu kehilangan fokus."
SOPHIAN HADI, 22 tahun, mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah


"Kalau suatu ketika, secara tiba-tiba, saya mendapat amanah untuk tampil di muka audiens, entah dalam bentuk presentasi, pidato, baca khutbah, atau bentuk komunikasi apa saja, saya sering diserang virus gelisah. Kadang-kadang gemetaran, kebi-ngungan, dan ketakutan. Ya, selalu begitu."
HELMI HIDAYAT, 22 tahun, guru MI Al-Ijtihad Iwul Parung

"Melepaskan diri dari ketegangan? Wow, gampang-gampang susah, bo! Apalagi ketika kita kehilangan ‘pe-de’, konsentrasi buyar, pandangan nanar, lutut gemetar, keringat dingin meng-ucur, pikiran dihantui ketakutan, macem-macem deh. Rasa-rasa-nya, pengen tiba-tiba hilang dari depan audiens. Ya, malu kan?"
SOBRI AL-BAWIE, 19 tahun, karyawan swasta

Bagaimana dengan Anda?

Apakah Anda punya pengalaman menarik ketika sedang berkomu-nikasi? Pernahkah Anda, ketika sedang menyampaikan gagasan, merasa bahwa apa yang Anda sampaikan tidak mendapat perhatian penuh dari lawan bicara Anda?

Bagaimana sikap Anda ketika ‘terpaksa’ harus berbicara dengan seseorang yang sangat menyebalkan dan menjengkelkan?

Mungkin saja, tanpa Anda sadari, selama ini Anda adalah seorang komunikator handal dan sangat diandalkan oleh perusahaan tempat Anda bekerja. Hanya saja, Anda tidak menyadari hal itu. Dan, boleh jadi, ketika Anda menyadari-nya, Anda berniat me-maksimalkan ‘kuasa komunikasi’ itu, demi peningkatan karir Anda.

Atau, jangan-jangan, Anda pernah mengalami sesuatu yang luar biasa karena kesalahan menerjemah-kan dan mengelola in-formasi, yang berakibat fatal bagi kelangsungan karir Anda.
Komunikasi bisa menjadi kunci suksesnya Anda! Bahkan, seorang penjual sayur di pasar, jika salah dalam mempro-mosikan dagangannya, maka sayur mayurnya akan layu sebelum laku.

So, tak satu pun rutinitas kita yang luput dari komunikasi. Siapa di dunia ini yang tidak pernah menyatakan keinginannya? Siapa pula yang tidak menginginkan keinginannya tercapai. Seorang dokter butuh berkomunikasi dengan pasiennya guna mendiagnosa penyakitnya. Bahkan, seorang hakim perlu mendapat jawaban dari seorang ‘pesakitan’ agar bisa menentukan vonis dengan adil dan bijaksana.

Dan, agar komunikasi Anda berjalan lancar, hindarilah sepuluh Kesalahan Komunikator berikut ini.
1. Berpikir sudah tahu.
2. Tidak fokus.
3. Rawan terhadap gangguan.
4. Di penjara prasangka dan asumsi.
5. Mengabaikan informasi yang bertentangan dengan keyakinannya.
6. Tidak terampil mendengarkan.
7. Tidak terampil membaca.
8. Hanya mempelajari apa yang ingin dipelajarinya.
9. Hanya membaca apa yang ingin dibacanya.
10. Hanya mendengarkan apa yang ingin didengarkannya.

Demikianlah, semua berawal dari komunikasi. ☼

TERAPI MERAWAT NYALI

Sebab dan akibat, benih dan buah, tak mungkin dipisahkan.
Karena akibat bermula dari sebab,
tujuan memang tergantung pada caranya,
dan buah lahir dari benihnya.
(Ralp Waldo Emerson)

Hidup ini butuh nyali. Kehidupan selalu membutuhkan manusia yang memiliki keberanian. Terutama yang memiliki nyali lebih dibanding manusia lainnya. Manusia yang nyalinya gede, yang berani menanggung risiko, yang berani gagal, yang berani kecewa, yang berani ’dipinggirkan’ oleh kesuksesan. Seperti mereka, saya dan juga Anda, butuh nyali. Kita butuh nyali manakala masalah melilit kita setiap hari, bukan malah lari meninggalkan masalah itu. Kita butuh keberanian ketika kita berhasrat untuk memulai sebuah usaha baru, bukan malah sibuk mengkalkulasi untung rugi. Kita butuh spirit untuk memulai sebuah langkah, bukan malah terus-terusan menimbang-nimbang seberapa besar kemungkinan kita berhasil.

Seberapa sukses kita dalam menjalani hidup, tergantung dari seberapa besar nyali yang kita miliki. Seberapa berani kita menanggung risiko. Risiko hidup, risiko gagal, dan semua risiko yang selama ini sering kita abaikan. Bahkan, meski hanya sekadar sejenak singgah di benak. Coba telisik di sekitar kita. Sungguh, betapa banyak orang yang diserang virus ketakutan. Takut dagangannya tidak laku. Takut produknya tidak menarik minat beli masyarakat. Takut dipecat oleh atasan. Takut gagal membahagiakan pasangan. Takut tidak mendapat tambahan gaji. Takut ini. Takut itu. Takut, takut, takut!

Dan, tentu saja, hanya satu cara untuk memberantas virus takut itu. Hanya satu jurus: nyali. Tapi, jangan menganggap remeh jurus itu. Jurus itu sangat jitu. Sangat ampuh. Anda tinggal mengemasnya sedemikian rupa, menatanya pada posisi yang tepat, lalu ’melejitkannya’ bersama potensi diri yang Anda punyai. Namun, tidak semua orang bisa ’meledakkan’ nyalinya. Itulah mengapa sehingga ada orang yang digelari penakut, atau tak bernyali.
Lantas, bagaimana cara merawat nyali?

Pertama, miliki tujuan hidup yang benar. Cobalah berkaca pada cermin hati. Tanyakan pada nurani. Apakah Anda sibuk bekerja hanya untuk memenuhi tuntutan ragawi? Hanya untuk memenuhi permintaan perut dan tenggorokan? Hanya untuk memuaskan hawa nafsu? Jika ya, sadarlah. Hidup ini tak sekadar untuk memenuhi kebutuhan duniawi semata. Orang yang lebih condong pada urusan dunianya, akan tenderita penyakit ‘penakut’. Orang seperti itu selalu merasa was-was dan takut salah dalam melaksanakan perintah bosnya atau majikannya. Lalu, ketika azan dzuhur berkumandang, ia tetap sibuk bekerja dan mengabaikan Majikan Yang Sebenarnya. Ada lagi sekelompok orang yang takut tidak memuaskan pelanggan tetapnya, sehingga ia dengan mudah mengabaikan pelanggan baru yang belum tentu menjadi pelanggan tetapnya. Ada juga yang sibuk menumpuk harta lewat jabatan dan kedudukan yang diembannya, sehingga lahirlah banyak pejabat berwatak penjahat.

Kedua, mari menabur cinta akhirat. Dunia ini persinggahan semata. Ada perjalanan abadi yang hakiki. Akhirat namanya. Dunia adalah tempat kita mengaso, mengumpulkan napas, mengemas semangat, lalu menumpuk bekal demi bekal yang kelak akan kita gunakan untuk kehidupan abadi. Kehidupan yang sebenarnya. Camkan, dunia ini permainan. Senda gurau semata. Maka, orang yang larut pada kenikmatan dunia, berarti adalah orang yang terlena dalam sebuah permainan yang sia-sia belaka. Kecuali, jika permainan itu kita jadikan wahana melecut diri untuk senantiasa ’bersiap’ menuju sesuatu yang belum nyata namun pasti akan nyata. Dan, untuk mencintai akhirat, kita butuh nyali. Misalnya, ketika melihat orang yang sibuk mengisap rokok di dalam masjid, butuh nyali untuk menegurnya. Ingatlah: amar ma’ruf itu bisa dilakukan oleh siapa saja, tapi nahi munkar hanya bisa dilakukan oleh orang yang punya nyali.

Ketiga, bergaul dengan orang-orang yang bernyali. Lingkungan Anda mencerminkan watak Anda. Jika Anda berada di tengah-tengah para pemabuk, maka orang lain akan menuding Anda pemabuk. Jika Anda sehari-hari bergaul dengan pecandu narkoba, maka orang lain akan menganggap Anda pemakai (narkoba). Meski Anda sebenarnya Anda tidak mabuk atau tidak memakai narkoba. Begitulah hukum alam. Karenanya, tentukan pilihan Anda sekarang. Jika Anda ingin hidup Anda penuh makna, bergaullah dengan orang yang berhati mulia, yang dermawan, yang baik hati, yang gemar menolong sesamanya, yang gemar memberi, yang suka berbagi. Jika Anda ingin hidup Anda selalu bersemangat, bergaullah dengan orang-orang yang selalu optimis.

Keempat, biasakan hidup susah dan penuh tantangan. Menjadi kaya, siapa yang tidak mau? Selalu sukses, siapa yang bakal menolak? Tapi, tidak selalu semua harapan kita akan terwujud. Belum tentu semua keinginan kita terpenuhi. Dan, pengalaman ketika kita jatuh menderita dan hidup susah itulah yang akan mengasah mental dan nyali kita. Bob Sadino menjadi enterpreanur sukses karena berhasil mengelolanya nyalinya. Billi Lim sukses menjadi motivator handal karena nyalinya. Makhsun Al-Makky berhasil melewati masa-masa sulit dalam hidupnya karena jeli merawat nyalinya. Bagaimana dengan Anda?

Kelima, jangan asal bunyi. Ada kalanya kita harus berani mempertahankan argumen kita. Bukan karena ngotot, melainkan karena kebenaran pendapat kita itu. Sementara, kita harus punya nyali untuk mempertahankan dan membela kebenaran itu. Bak kata pepatah, ”Berani karena benar.” Apalagi, dewasa ini, orang yang salah saja pada berani, mengapa untuk membela kebenaran kita mesti ngeri? Hanya saja, kita butuh argumentasi yang tepat. Berkacalah pada kisah Nabi Ibrahim as. Ketika ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya menghancurkan berhala-berhala sesembahan kaumnya, ia menjawab dengan penuh nyali, ”Jika berhala-berhala itu tidak bisa apa-apa, bahkan sekadar bicara, mengapa kalian menyembahnya?”

Berani tidak berarti melakukan sesuatu tanpa pertimbangan matang. Apalagi tanpa menimbang-nimbang akibatnya. Berani bukan berarti tak memiliki rasa takut sama sekali. Berani bukan juga semau gue. Berani yang kita butuhkan adalah berani yang proporsional. Berani pada tempatnya. Berani yang melahirkan sikap dan pikiran positif. Berani yang menumbuhkan semangat dan jiwa besar. Berani yang melihat tantangan sebagai peluang. Berani yang memandang penghambat sebagai batu loncatan. Berani yang melihat kendala sebagai motivasi untuk bangkit.

Berani yang bersandar pada keyakinan innallaha ma’ana, sesungguhnya Allah bersama kita. Sehingga, Musa pun berani menghadapi Fir’an yang durjana. Ibrahim pun sanggup menentang Namrud yang lalim. Jadi, jika Anda ingin selalu punya nyali, tanamkan di hati Anda bahwa Allah selalu bersama Anda. Selalu menyertai Anda. Selalu mengawasi Anda. Selalu melindungi Allah. Dia takkan pergi, takkan mengabaikan Anda, apalagi meninggalkan Anda.